Kritik Nalar Fiqh NU
Penerbit: lakpesdam NU
Harga: Rp. 35.000,-
Resensi:
Dari berbagai ilmu pengetahuan agama, fiqih merupakan pengetahuan yang dianggap paling penting di lingkungan NU. Ia diposisikan sebagai ratu ilmu pengetahuan. Sebab, fiqih merupakan petunjuk bagi seluruh perilaku dan penjelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Fiqih merupakan tuntunan praktis dalam mempraktekkan agama dalam berbagai bidang kehidupan, dari soal beribadah hingga berpolitik. Sehingga bisa dikatakan merah hitamnya tindakan masyarakat NU baik dalam kehidupan kegamaan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan politik tergantung pada merah hitamnya fiqih yang mereka anut.
Upaya ini sebenarnya telah dilakukan oleh para pembaharu di dalam NU sendiri. Yang paling fenomenal adalah keputusan Munas NU di Lampung pada 1992 yang menegaskan keabsahan bermadzhab secara manhajy (metodologis). Keputusan ini bisa dianggap sebagai terobosan yang sangat berani karena memberikan peluang untuk tidak terikat, bermadzhab atau taqlid kepada putusan-putusan hukum hasil istinbath para imam madzhab. Para ulama NU hanya dituntut untuk tetap mempergunakan teori dan metodologi yang dikembangkan para imam tersebut.
Bermadzhab secara manhajy merupakan jalan moderat bagi upaya mengakomodir berbagai perubahan di tengah masyarakat yang terjadi terus-menerus. Ketika kondisi masyarakat sebagai obyek hukum mengalami perubahan maka fiqih juga dituntut melakukan perubahan agar ia tidak gagap memberikan jawaban-jawaban dari persoalan yang bermunculan akibat arus perubahan. Di sisi lain, dengan tetap mempertahankan metodologi para ulama terdahulu para mujtahid sekarang tidak mengalami keterputusan dengan hazanah intelektual masa lalu dan tidak perlu membuang tenaga untuk menyusun metodologi baru dari nol. Sebab, ternyata metodologi yang dibangun pada abad pertengahan tersebut masih mampu untuk menyediakan piranti inovasi dan pembaruan.
Namun, ketika persoalan legal konstitusional telah terpecahkan, tidaklah demikian dengan praktek di lapangan. Ketika NU secara resmi telah membolehkan bermadzhab secara manhajy, praktek berfiqih baik dalam lingkungan pesantren maupun dalam forum resmi Bahtsul Masa'il NU masih tetap menggunakan "bermazdhab secara qauly (verbalis)". Bahkan, dalam forum-forum fiqhiyah tersebut rujukan yang diterima hanya kitab-kitab yang dianggap sebagai al-kutub al-mu'tabarah (buku-buku yang sah). Selama ini, kriteria yang dipakai untuk menilai sebuah kitab mu'tabarah atau tidak adalah ia berasal dari kalangan Syafi'i atau tidak, atau lebih sempit lagi, lazim dipakai di pesantren atau tidak. Sehingga dalam forum tersebut ada kesan menutup peluang bagi kalangan imam madzhab lain yang secara legal konstitusional NU sah dijadikan rujukan. Singkat kata, tradisi berfiqih NU masih belum beranjak jauh dari jerat nalar tradisionalisme.
Di tengah masih kuatnya kungkungan konservatisme dan ortodoksi, semangat Munas Lampung diam-diam tumbuh subur di kalangan kaum muda dan kaum tua yang berpikiran muda di pesantren. Suara kritis dan tawaran formula baru senantiasa muncul dalam berbagai kesempatan. Kehadiran buku ini semata-mata hanya merekam dan mensosialisasikan semangat ini seraya berharap dapat memberikan ruang bagi, wacana fikih di kalangan pesantren. Sehingga dunia perfikihan di pesantren khususnya dan NU umumnya menjadi lebih dinamis.
sumber berita: http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/35/kritik-nalar-fiqih-nu-
No comments:
Post a Comment
silakan isi komen atau pesan saran di bawah ini...